Senin, 06 Juni 2011

GErakaN JAma'aH

Oleh ; Majelis Tablig PP Muh
  Dalam lembar tanfidz keputusan muktamar Muhammadiyah ke-39 terbitan PP Muhammadiyah tertanggal 29 Muharam 1395 / 10 Februari 1975 yang ditandatangani oleh pejabat PP Muhammadiyah : H.M. Djindar Tamimy dan H. Djarnawi Hadikusuma pada halaman 29-33 lampiran I tentang realisasi jama’ah dan dan dakwah jama’ah dalam konsep Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah, dinyatakan bahwa gerakan yang dimaksud dalam rangka Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah ialah suatu usaha Persyarikatan Muhammadiyah melalui anggotanya yang tersebar di seluruh tanah air untuk secara serempak teratur dan berencana meningkatkan keaktifannya dalam membina lingkungannya ke arah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.

Namun demikian, gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah yang diidealkan sampai saat ini tampaknya belum menjadi kenyataan yang menggembirakan. Terbaca pada “Pengantar” buku Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah yang diterbitkan oleh MTDK PPM (2006) beberapa faktor sebagai berikut; (1) Informasi / penjelasan tak tersebar secara merata; (2) Pergeseran nilai kegotong-royongan ke individualistis; (3) Masih adanya pengurus Persyarikatan yang tidak mau melaksanakan gerakan dakwah jama’ah; (4) Masih adanya sikap mental acuh tak acuh warga Muhammadiyah akan pelakanaan cita-cita luhur Muhammadiyah; (5) Belum semua warga Muhammadiyah siap melakukan perubahan; (6)Belum semua warga Muhammadiyah siap ittiba’ Rasul dalam hidup berjama’ah/ bermasyarakat.

Dalam hemat pembacaan dan perenungan penulis, tentunya ini subyektif namun dapat didiskusikan, sebagian warga kita berjamaah dan bermuhammadiyah baru pada level formalitas organisasi/persyarikatan semata, dalam artian hanya sebagai rutinitas yang pada titik tertentu justeru membosankan, dan lekas kehilangan stamina. Dalam ungkapan yang lain, kesadaran kita baru pada wilayah ’aqliyah-jasadiyah dan belum menembus relung jiwa yang terdalam, ruhiyah-qalbiyah kita. Dapat pula dikatakan, kita belum menyadari dengan baik dan kemudian mengamalkan bahwa, berjamaah atau bermuhammadiyah sejatinya adalah tuntutan yang bersifat syar’iy, berdasarkan nash-nash Al-Qur’an, Sunnah serta tauladan yang aktual pada masa dakwah Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau, radlyallahu ’anhum.

Beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini dapat kita tadabburi berasama:

1. Surah Ali Imran ayat 103

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [6]

1. Surah Ali Imran ayat 105

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[7]

1. Surah Al-Rum ayat 31-32

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ[8]

1. Surah Al-Tawbah ayat 107-108

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا[9]

1. Surah An-Nisa’ ayat 59

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا[10]

Adapun hadis-hadis Rasulullah SAW adalah :

1. HR Bukhari dan Muslim

لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث النفس بالنفس والثيب الزاني والمفارق لدينه التارك للجماعة[11]

1. HR Bukhari & Muslim

عن حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

1. HR Bukhari

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌوَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا وَفَى وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا لَمْ يَفِ

1. HR Muslim

عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ

Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa permasalahan berjamaah merupakan tuntutan dan kewajiban secara syar’iy yang mesti disadari dan diamalkan oleh setiap muslim. Berjama’ah bukanlah hanya tuntutan formalitas organisasi semata.

Setelah mencermati hadis-hadis Rasulullah SAW tentang jamaah, Al-Imam Asy-Syathiby menyimpulkan sebagai berikut; jamaah ialah umat Islam yang sepakat (ijma’) atas suatu urusan; mayoritas umat Islam; jama’ah para ulama dan ahli ijtihad; umat Islam yang sepakat atas satu pemimpin/amir; jama’ah secara spesifik ialah golongan para sahabat radliallahu ‘anhum.

Di antara pendapat-pendapat tersebut, Imam Asy-Syathiby cenderung untuk menyatakan bahwa jama’ah ialah jama’ah umat Islam jika mereka berkumpul dibawah kepemimpinan seorang amir/pemimpin. Demikian pula dipertegas oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab beliau “Fathul Bary”.[12]

DR Abdul Hamid Hindawy dalam kitabnya “Kayfa Al-Amru Idza Lam Tahun Jama’ah; Dirasat Hawla al-Jama’ah wa al-Jama’at” mengidentifikasi makna jama’ah menjadi dua; dimensi teoritis yakni komitmen dan berpegang teguh pada apa yang digariskan oleh Rasulullah SAW dan juga diikuti oleh para sahabat; dimensi praksis/politis yakni berkumpulnya seluruh umat Islam dibawah kepemimpinan seorang pemimpin/amir.[13]

Dengan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, saat ini tidak ditemukan Jama’ah Islam dalam dimensinya yang praksis/politis, di mana seluruh umat Islam di dunia bernaung di bawah kepepmimpinan seorang pemimpin/amir/khalifah. Fakta ini pula yang mengantarkan kita kepada kesimpulan lain, di mana tidak seorangpun atau jama’ah pun yang dapat mengklaim diri sebagai perwujudan otentik dari Jama’ah Islam universal yang wajib diikuti (diberikan sumpah setia/ bai’at) sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis-hadis tentang jamaah. Yang ada dan dapat kita akui bersama untuk saat ini ialah adanya “jama’atun minal muslimin”, “satu jamaah dari keseluruhan umat Islam.”

Lalu bagaimana kita menjalankan ajaran berjamaah yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabda-sabdanya? Menjawab ‘kegelisahan’ ini, Dr. Sholah Ash-Shawi[14] menjelaskan 2 cara yang dapat ditempuh oleh setiap muslim :

Pertama; Komitmen (iltizam) dengan salah satu jama’ah dari berbagai jama’ah yang ada, dengan sebuah pandangan bahwa ini adalah sebuah usaha untuk menuju adanya “Jama’atul Muslimin” sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW, dengan melihat dan mempertimbangkan mana diantara jama’ah-jama’ah tersebut yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih komprehensif, matang dalam mempertimbangkan antara mashalih dan mafasid, lebih memiliki kemampuan, potensi dan kekuatan untuk melaksanakan amal Islam yang sempurna.

Kedua; Komitmen (iltizam) dengan Jama’atul Muslimin, Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Mereka memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dalam segala kepentingan dan kemaslahatan umat Islam. Hal sedemikian akan terwujud jika ada seorang pemimpin yang dapat diikuti secara bulat oleh keseluruhan umat Islam. Atau dapat pula, dalam proses menuju terwujudnya Jama’atul Muslimin, diadakan kepemimpinan kolektif yang dapat melakukan komunikasi aktif dengan seluruh elemen dan jama’ah-jama’ah yang ada, tanpa harus memberlakukan keharusan untuk menjadi anggota di salah satu dari jama’ah-jama’ah tersebut.

Berdasarkan pada peta permasalahan tersebut di atas, dalam konteks berjama’ah di Persyarikatan kita ini atau berMuhammadiyah, tampaknya lebih dekat dengan solusi pertama yang ditawarkan oleh Dr Sholah Ash-Shawi. Oleh karena itu, adalah sebuah kewajiban syar’iy bagi setiap warga Persyarikatan untuk muhasabah atas dirinya sendiri mengapa Muhammadiyah yang menjadi pilihannya. Jika memang pilihan kita untuk bergabung dan menyatakan komitmen bulat kepada Persyarikatan Muhammadiyah ini, maka apa yang penulis sebut sebagai “munthalaq dakwah Muhammadiyah” pada iftitah naskah ini, perlu untuk dikaji secara mendalam, dipahami, diamalkan, didakwahkan serta bersabar dalam menerima segala cobaan yang tentunya menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari dakwah itu sendiri.

Tadabbur Sirah Nabawiyah : Gerakan Dakwah & Gerakan Jama’ah Rasulullah SAW

1) Untuk membangun sebuah jamaah, Rasulullah SAW mensosialisasikan prinsip-prinsip Islam dan pokok ajarannya. Syi’arnya ialah :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[15]

Dalam hal ini Rasulullah SAW menjalankan beberapa hal berikut;

1. Mengintensifkan dakwah perorangan. Dakwah fardiyah ini dilakukan oleh Rasulullah SAW pada fase dakwah sirriyah. Metode ini sangat relevan untuk dilakukan pada awal pembentukan jama’ah, ataupun di saat adanya tindakan refresif dari pihak penguasa.
2. Dakwah jama’ah, mengintensifkan relasi kepada public (jumhur). Hal ini dilakukan oleh Rasulullah SAW pada masa dakwah jahriyah.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ [16]

2) Menata manajemen dakwah.

Menentukan skala prioritas dalam berdakwah. Rasulullah SAW menegaskan eksistensinya sebagai pembawa risalah tauhid An-Nahl ayat 36 :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

3) Setelah jamaah terbentuk, Rasulullah SAW menyiapkan jama’ah tersebut untuk menyebarkan ajaran yang telah diterimanya.

وَإِنْ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْكُمْ ءَامَنُوا بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ وَطَائِفَةٌ لَمْ يُؤْمِنُوا فَاصْبِرُوا حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ بَيْنَنَا وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ[17]

1. Pada fase sirriyah : sahabat yang telah menerima dakwah berkisar antara 3-5 orang. Mereka kumpul setiap hari, tempat dan waktu yang bervariasi.
2. Pada fase jahriyah : Mengadakan pengajian umum, halaqah kabirah. Juga mengadakan rihlah dakwah jama’iyyah. Ada pula langkah-langkah untuk mengkondisikan dakwah dengan ceramah/khutbah, maw’idzah.

4) Langkah berikutnya, mengirim sahabat untuk berdakwah ke luar Makkah. Mush’ab ibn ‘Umair diutus ke Madinah dalam rangka pengkondisian pra-hijrah.

Demikianlah, secara ringkas, gerakan jamaah dan dakwah jamaah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam sirahNya.

Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah Muhammadiyah

1) Gerakan yang dimaksud dalam rangka gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah di sini adalah suatu usaha Persyarikatan Muhammadiyah, melalui anggotanya yang tersebar di seluruh tanah air, untuk secara serempak teratur dan terencana meningkatkan keaktifannya dalam membina lingkungannya ke arah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.

2) Pengertian tentang jama’ah

1. Jama’ah adalah suatu bentuk kehidupan bersama sekelompok orang yang tujuannya membina hidup berjama’ah.

Pengertian sekelompok orang yang dimaksud adalah sekelompok keluarga yang tempat tinggalnya saling berdekatan, tidak membedakan golongan, baik agama, status sosial maupun mata pencaharian.

1. Kelompok itu–oleh sekelompok kecil anggota Muhammadiyah yang ada di dalamnya–diusahakan dapat terwujud suatu kehidupan yang sejahtera, lahir dan batin, bagi segenap anggota kelompok, sehingga merupakan satu kesatuan kehidupan bersama dan serasi, yang selanjutnya dapat menyumbangkan kemampuannya untuk ikut serta membangun bangsa dan negaranya.
2. Sekelompok anggota Muhammadiyah yang mengambil inisiatif itu, disebut inti jama’ah, yang membentuk dirinya sebagai potensi penggerak kelompok (group dinamics).

Alasan untuk menempatkan diri sebagai inti jama’ah bagi anggota Muhammadiyah ini, tidak lain karena didorong oleh rasa tanggung jawabnya sebagai muslim yang melaksanakan ajaran agamanya, sebagai ibadahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

1. Oleh karena itu, niat untuk membentuk jama’ah adalah semata-mata untuk mendapat ridha Allah subhanahu wa ta’ala, tidak dikerjakan untuk menyusun kekuatan politik atau golongan, tidak pula untuk kepentingan pribadinya. Kesejahteraan hidup adalah milik dan kepentingan bersama bagi setiap orang, setiap keluarga, setiap kelompok.
2. Jama’ah sebagai bentuk kehidupan bersama tidak selalu harus dimulai dengan membentuk organisasi jama’ah yang nyata (kongkrit). Titik berat gerakan ini adalah menyebarkan dan mengembangkan ide hidup berjama’ah. Bentuk organisasi jama’ah tidak boleh dipaksakan. Akan tetapi pengelompokan anggota Muhammadiyah menjadi inti jama’ah menjadi sarana yang paling dekat untuk dicapai oleh Persyarikatan.

Dengan melalui pertemuan dan lain sebagainya inti-inti jama’ah ini melangkahkan kakinya untuk memprakarsai hidup berjama’ah di lingkungan tempat tinggalnya dan kalau situasi dan kondisi setempat mengizinkan, melangkah lebih jauh untuk mewujudkan jama’ah sebagai lembaga sosial yang terbukti memang dikehendaki dan dibutuhkan masyarakat (sosial need).

3) Pengertian tentang Hidup Jama’ah

1. Bahwa hidup berjama’ah seperti yang dijelaskan di atas (2) bisa tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, apalagi bisa teratur dan berencana mudah kita duga.

Manusia sebagai makhluk sosial, yang secara fitrahnya harus hidup berkelompok karena saling membutuhkan. Tetapi manusiapun disifati sebagai makhluk individual, yang terjadi dari jiwa raga yang tak terpisahkan, dengan cipta, rasa dan karsanya itu memiliki kemampuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan lingkungannya, walapun hanya di dalam hatinya. Oleh karena itu sifat egoistis–mementingkan diri sendiri, sering lebih menonjol dari sifat sosialnya. Dari pokok pangkal pikiran ini, kita mudah menduga bahwa hasrat untuk hidup berjama’ah tidak bisa tumbuh dan berkembang sendiri. Harus ada sekelompok kecil di tengah-tengah kelompok yang lebih besar yang membentuk dirinya menjadi inti kelompok –dus inti jama’ah– mengajak untuk hidup sejahtera, membina kebaikan dan menjauhkan kemungkaran.

1. Hidup berjama’ah harus dida’wahkan, tetapi tidak cukup hanya dengan khutbah-khutbah di masjid atau ceramah-ceramah di dalam pengajian-pengajian; pendeknya tidak cukup diomongkan.

Hidup berjama’ah harus diprakarsai muballigh (inti jama’ah) dan umat yang dida’wahi (calon jama’ah)nya harus merupakan satu pernyataan hidup bersama. Apa yang dida’wahkan si muballigh – baik materi maupun sasarannya, baik langsung maupun tidak langsung akan menyangkut dan mengenai pribadi si muballigh.

Oleh karena itu sistem da’wah dalam rangka menimbulkan hidup berjama’ah ini disebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Tujuannya

a) Menumbuhkan dan membina hidup berjamaah yaitu hidup bersama yang serasi, rukun dan dinamis;

b) Menumbuhkan dan membina hidup sejahtera, yakni hidup yang terpenuhi kebutuhan lahir dan batin bagi segenap warga jama’ah;

c) Kesemuanya itu untuk mengantarkan warga jama’ah dalam pengabdiannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kepada bangsa dan negara serta kemaslahatan manusia pada umumnya.

1) Materinya

a) Bidang pendidikan: menumbuhkan kesadaran dan memberikan pengertian tentang mutlak perlunya pendidikan bagi anak-anak dan generasi muda, khususnya pendidikan agamanya, untuk menjadi pegangan hidup dan kehidupannya di masa depan;

b) Bidang sosial: membina kehidupan yang serasi antara keluarga yang satu dengan yang lainnya, saling tolong menolong dan bantu membantu mengatasi kesulitan yang sedang dialami oleh anggota jama’ahnya. Menghilangkan sifat egois dan menutup diri;

c) Bidang ekonomi: berusaha mencegah kesulitan-kesulitan ekonomi/ penghidupan yang dialami oleh anggota jama’ahnya, antara lain dengan membantu permodalan, mencarikan pekerjaan, memberikan latihan ketrampilan/ keahlian dan sebagainya;

d) Bidang kebudayaan: membina kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam sebagai sarana / alat da’wah dan mengikis/ menghindarkan pengaruh kebudayaan yang merusak, dari manapun datangnya;

e) Bidang hukum: membina kesadaran dan memberikan pengertian tentang tertib hukum untuk kebaikan bersama dalam kemasyarakatan. Melaksanakan dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama (Islam) yang berhubungan dengan mu’amalah duniawiyah;

f) Bidang hubungan luar negeri (solidaritas): menumbuhkan rasa setia kawan dan simpati terhadap sesama umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya yang sedang mengalami musibah, penderitaan, penindasan dan sebagainya kemudian menyata-laksanakannya dengan mengumpulkan bantuan dan sebagainya.

2) Metodenya

a) Dakwah jama’ah dilaksanakan oleh sekelompok kecil warga jama’ah (inti jama’ah) yang ditujukan kepada kelompok (jama’ahnya);

b) Inti jama’ah bertindak sebagai penggerak kelompok yang merencanakan, melaksanakan dan menilai langkah-langkah dan materi da’wahnya;

c) Dakwah jama’ah menggunakan teknik-teknik pembinaan masyarakat (community development).

3) Sifatnya

a) Da’wah jama’ah dilaksanakan atas nama pribadi masing-masing muballigh;

b) Da’wah jama’ah bersifat informil, artinya tidak mengikatkan dirinya kepada instansi / lembaga yang formil;

c) Instansi/lembaga-lembaga masyarakat yang ada menjadi tempat menyalurkan kegiatan warga berjama’ah.

4) Pengertian tentang inti jama’ah

1. Inti jama’ah terjadi dari anggota Muhammadiyah. Satu inti jama’ah terdiri dari sekitar 3 (tiga) sampai 7 (tujuh orang, dari pria dan wanita;
2. Ruang gerak satu inti jama’ah sekurang-kurangnya meliputi satu rukun tetangga (RT), seluas-luasnya meliputi satu rukun kampung / warga / dukuh;
3. Tugas inti jama’ah adalah melaksanakan dan merencakan da’wah jama’ah serta dinilai hasil-hasilnya untuk langkah-langkah perubahan;
4. Inti-inti jama’ah di satu keluarga saling mengkoordinir dan menyeleraskan kegiatan menjadi satu unit gerakan jama’ah.

Unit-unit ini yang menjadi salauran komunikasi dengan induk organisasi Muhammadiyah;

1. Keanggotaan inti jama’ah serta pembagian tugas perhatiannya diatur/ dimusyawarahkan bersama oleh anggota Muhammadiyah dalam satu jama’ah.

Apabila di dalam satu jama’ah terdapat kelebihan anggota Muhammadiyah, tugas inti jama’ah dapat digilirkan secara periodik. Anggota yang kebetulan tidak menjadi inti jama’ah berfungsi sebagai pendukung dan pelopor kegiatan jama’ahnya. Kelebihan anggota tersebut dapat ditugaskan untuk membina tempat lain yang tidak terdapat anggota Muhammadiyah di dalamnya;

1. Apabila bentuk jama’ah sudah gatra (maujud), inti jama’ah mempersiapkan terbentuknya organisasi jama’ah dengan mempersiapkan pamong jam’ahnya;
2. Di dalam hal organisasi jama’ah belum terwujud, inti jama’ah berfungsi sebagai pamong jama’ah sementara. Kalau organisasi jama’ah dan pamong jama’ah sudah terwujud, inti jama’ah dapat mengintegrasikan diri ke dalamnya atau berdiri di luar sebagai pembantu, aktif menjadi sumber inspirasi dan kreasi kegiatan jama’ahnya.

5) Pengertian tentang organisasi Jama’ah

1. Organisasi jama’ah adalah organisasi yang informal, dalam arti tidak terikat dan bertanggungjawab kepada organisasi lain.

Organisasi ini lahir sebagai proses yang wajar dari kebutuhan kelompok masyarakat di suatu tempat, sebagai akibat dari suksesnya dakwah jama’ah yang dilaksanakan oleh inti jama’ah. Organisasi jama’ah tidak dapat dipaksakan adanya. (Nama jama’ah itu sendiri tidak mutlak harus dipergunakan sekiranya justru akan menghambat pengertian hidup berjama’ah).

1. Di dalam satu lingkungan tempat di mana semua atau sebagian besar penghuninya warga Muhammadiyah, masalah terbentuknya organisasi jama’ah tidak perlu dipersoalkan. Karena ide hidup berjama’ah memang sudah menjadi sebagian dari kepribadiannya; maka timbulnya organisasi jama’ah berfungsi sebagai intensifikasi semangat dan kegiatan hidup berjama’ah;
2. Organisasi jama’ah dipimpin oleh pamong jama’ah yang terjadi dari warga jama’ah dan terdiri dari Bapak dan Ibu jama’ah dengan beberapa pembantu. Ibu dan Bapak jama’ah dipilih dari dan oleh warga jama’ah sebagai sesepuh/tertua lingkungan itu. Sedang pembantu-pembantunya terdiri dari tenaga-tenaga muda yang lincah dan penuh daya kreasi dan bertanggungjawab kepada Bapak dan Ibu jama’ah;
3. Pamong jama’ah bisa terjadi, sebagian dari inti jama’ah atau seluruhnya, atau dapat pula inti jama’ah ada di luar pamong jama’ah (lihat 4-g.);
4. Tugas pamong jama’ah adalah memimpin dan mengantarkan jama’ahnya menuju ke kehidupan berjama’ah yang sejahtera. Menampung dan menyalurkan ide-ide kegiatan dan kebutuhan-kebutuhan hidup warganya yang sesuai dengan sasaran hidup berjama’ah yang sejahtera;
5. Saluran ide-ide, kegiatan dan kebutuhan warga jamaah dapat ditumbuhkan dalam jama’ah atau memanfaatkan instansi / lembaga yang telah ada di luar jama’ah;
6. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa secara resmi jama’ah tidak ada hubungannya dengan organisasi Muhammadiyah; yang ada hubungan secara organisatoris adalah antara anggota Muhammadiyah (sebagai warga jama’ah yang menjadi inti jama’ah) dengan Muhammadiyah (Ranting).

6) Lokasi gerak jama’ah dan dakwah Jama’ah

1. Gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah bertitik tolak pada pembinaan mental pribadi warga jama’ah dalam keluarganya dan dalam lingkungan tetangganya;

Pembinaan ini dapat melalui sarana-sarana intern jama’ah dan dapat memanfaatkan sarana/fasilitas di luar jama’ah. Secara rutin pamong jama’ah memperhatikan situasi dan kondisi warga jama’ahnya, mengamati rumah tangganya dan suasana hidup bertetangga. Masalah-masalah yang tampak segera ditangani, yaitu dicari pemecahannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ide-ide yang positif dan kreatif diusahakan melalui musyawarah, sehingga menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama jama’ahnya.

1. Selanjutnya gerakan jama’ah dan dakwah jama’ah meluaskan pandangannya seluas batas-batas kelurahan tempat jama’ah-jama’ah. Ada inisiatif inti-inti jama’ah yang tergantung dalam unit gerakan jama’ah; Jama’ah-jama’ah diajak berpartisipasi dalam pembangunan kelurahannya (pembangunan desa/ kota).

7) Kompetensi Da’i Pendamping

1. Kompetensi Subtantif

* Ikhlas
* Amanah
* Shidq (Kejujuran ) : Perkataan, niat dan kehendak, ’azm/tekad, menepati janji dan dalam bekerja.
* Akhlaq karimah: rahmah, rifq (lemah lembut) dan hilm (santun), sabar, hirsh (mencintai dan perhatian kepada mad’uw/audiens)
* Pemahaman Islam yang komprehensif
* Pemahaman akan hakekat dakwah/Fikih dakwah
* Mengenal lingkungan

1. Kompetensi Metodologis

Kompetensi metodologis adalah sejumlah kemampuan yang dituntut oleh seorang da’i pendamping jama’ah yang berkaitan dengan masalah perencanaan dan metode dakwah. Dengan ungkapan lain, kompetensi metodologis ialah kemampuan profesional yang ada pada diri da’i pendamping jama’ah sehingga ia : (1) Mampu membuat perencanaan dakwah (persiapan, kegiatan dakwah) yang akan dilakukan dengan baik; dan; (2) Sekaligus mampu melaksanakan perencanaannya.

* Da’i pendamping jama’ah harus mampu mengidentifikasi permasalahan dakwah yang dihadapi, yaitu mampu mendiagnosis dan mengemukakan kondisi “keberagamaan” obyek dakwah yang dihadapi, baik pada tingkat individu maupun tingkat masyarakat.
* Da’i pendamping jama’ah harus mampu mencari dan mendapatkan informasi mengenai ciri-ciri obyektif dan subyektif obyek dakwah serta kondisi lingkungannya.
* Berdasarkan informasi yang diperoleh dengan kemampuan pertama dan kedua di atas, seorang da’i pendamping jama’ah akan mampu menyusun langkah perencanaan bagi kegiatan dakwah yang dilakukan.
* Kemampuan untuk merealisasikan perencanaan tersebut dalam pelaksanaan kegiatan dakwah. Walaupun faktor-faktor bakat memegang peranan cukup menentukan, tetapi faktor latihan (dan pengalaman) akan sangat menunjang kompetensi ini.

Ikhtitam

Demikianlah konsep Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah yang telah lama kita cita-citakan. Hemat kami, kuncinya ialah kita bekerja sungguh-sungguh dan tidak terlalu banyak berwacana ataupun silang pendapat. Apa yang bisa kita lakukan, kita lakukan sekarang juga. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, konsep ini sejatinya bukan hal yang baru sama sekali. Ia telah lahir dari aktualisasi nyata dakwah beliau di awal menggerakkan jama’ah dan dakwah jama’ah seperti yang telah kami utarakan.

Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita keikhlasan dan kemauan untuk menunaikan amanah dakwah yang mulia ini dalam rumah kita, Muhammadiyah tercinta.Amin ya Mujibassa’ilin.
[1] Disampaikan pada pengajian PDM Sragen, Sabtu 14 April 2007

[2] Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2005-2010 / Mudir Lembaga Bahasa Arab “Ma’had Ali Bin Abi Thalib” Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[3] Lihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Tahun 2005, hal. 5-8. Juga, Haedar Nashir dkk., Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah (Yogyakarta, Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1994), Cet. Ke-1, hal. 126-129

[4] Keputusan Tanwir 1969 di Ponorogo

[5] Haedar Nashir dkk., Materi Induk…hal. 85-86

[6] Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

[7] Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,

[8] Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

[9] Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya

[10] Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

[11] ( لا يحل دم امرئ ) لا يباح قتله(النفس بالنفس ) تزهــــــــــــق نفس القاتل عمدا بغير حــــــق بمقابلة لنفس التي أزهقها(الثيب الزاني ) الثيب مـــــــن سبق له زواج ذكرا أم أنثى فيباح دمه إذا زنى (المفارق ) التارك المبتعد وهو المرتد . وفي رواية ( والمارق من الدين ) وهو الخارج منه خروجا سريعا(التارك للجماعة ) المفارق لجماعة المسلمين (Lihat, CD Al-Maktabah Asy-Syamilah)

[12] Husain Ibn Muhsin Ibn Ali Jabir, Al-Thariq Ila Jama’atil Muslimin (Madinah : Darul Wafa’, 1989), Cet. IV, hal. 25-26

[13] Abdul Hamid Hindawy, Kayfa Al-Amru Idza Lam Tahun Jama’ah; Dirasat Hawla al-Jama’ah wa al-Jama’at (Mesir: Maktabah Tabi’in, 1416), Cet. II, hal.95

[14] Sholah Ash-Shawi, Jama’atul Muslimin; Mafhumuha wa Kaifiyatu Luzumiha fi Waqi’ina al-Mu’ashir (Qahirah : Dar Shafwah, 1413), Cet. 1, hal. 72-75

[15] Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An-Nahl : 125)

[16] Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (Hijr : 94)

[17] Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.
Diposkan oleh Muhammadiyah di 12:43

0 komentar:

Posting Komentar